Minggu, 23 Mei 2010

IBU
Oleh: Alip Sugianto*)

“Ribuan kilo jarak yang kau tempuh, lewati rintangan untuk aku, anakmu. Ibuku sayang masih terus berjalan walau tapak kaki penuh darah penuh nanah,” itulah penggalan lirik lagu Iwan Fals tentang sosok seorang ibu. Iwan Fals seakan mengingatkan manusia akan nilai filsafat perjuangan seorang ibu dalam mengasuh anaknya dengan penuh perjuangan, pengorbanan dan kasih sayang.
Pengorbanan seorang ibu dalam merawat anaknya, sudah tentu berhias susah dan payah. Bagaimana tidak, sejak dalam kandungan, melahirkan hingga merawat menjadi tumbuh dewasa, benar-benar merupakan cerminan pepatah “kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” Pepatah tersebut menjadi gambaran kasih sayang seorang ibu yang hampir-hampir tiada ujung-tepinya.
Kasih sayang seorang ibu bisa dikatakan bersifat integral, karena dalam upaya mendidik dan mengasuh anak itu terkandung dua dimensi sekaligus, yaitu dimensi hablum minnallah: dengan mendoakan seorang anak kepada Allah agar menjadi anak sholeh, bermanfaat bagi agama, masyarakat dan Negara. Sedangkan dimensi yang satu lagi adalah hablum minannas: yaitu dengan upaya riil berupa curahan tenaga dan pikiran dalam merawat dan mendidik penuh dengan kasih sayang.
Ibu sebagai orang tua bak seniman mahakarya dalam membentuk kepribadian anak-anaknya. Konon, Muhammad SAW dalam sabdanya menyatakan bahwa orang tua memiliki peran dominan dalam “mewarnai” anak-anaknya. Bukan hanya itu, bahkan ibu juga disebutnya sebagai madrasatul uula- pendidik pertama dalam kehidupan anaknya. Sabda itu tentunya tidak berlebihan, mengingat tokoh-tokoh hebat lahir dari madrasah ibu yang hebat.
Jika jasa seorang ibu sebagaimana digambarkan di atas, apakah seorang anak juga bisa mengimbangi jasa ibunya? Realitas sering menunjukkan fakta yang sebaliknya, orang tua, khususnya ibu, dihari tua justru “dipenjarakan” di dalam panti jompo. Dibalik kebaikan panti jompo pada para MANULA (manusia lanjut usia), ada yang ironis jika dipandang dari sisi hubungan balas budi anak kepada orang tuanya.
Hakekatnya seorang ibu tidak ingin dibalas budi baiknya, mereka mengasuh merawat dan mendidik anaknya dengan ikhlas. Lazimnya seorang ibu sudah cukup merasa senang apabila melihat anak anaknya hidup sukses dan bahagia. Mencermati kondisi yang demikian itu, seharusnya anak benar-benar mengerti bagaimana ketika seorang ibu itu “ mengandung dengan susah payah dan melahirkan dengan susah payah pula” (Al-Ahqaf:15).

Jihad vs Berbakti Kepada Orang Tua
Dalam diskursus pemikiran Islam, berbakti kepada orang tua, khususnya ibu, menempati kedudukan yang sejajar dengan jihad fi sabilillah. Terbukti dalam kisah yang diriwaayatkan oleh Abdullah bin Amr, ada seorang sahabat yang hendak pergi berjihad, namun disisi lain dia memiliki orang tua yang sudah lanjut usia. Sebagai komandan perang Rasullullah bukan menyuruhnya segera berangkat kemedan perang, justru beliau menyuruhnya agar sahabat itu merawat orang tuanya.
Tidak hanya itu, islam bahkan memuliakan ibu dengan menjaganya dari perkataan yang menyakitkan. Di dalam Al-Qur’an (Al-Isra’: 23) Allah SWT melarang seorang anak mengucapkan perkataan “ah” kepada orang tuanya, padahal perkataan itu sangatlah ringan. Jika perkataan “ah” yang berarti membantah itu dilarang, apalagi perkataan yang lebih berat dan lebih menyakitkan dari itu.
Tak salah sebuah ungkapan mutiara mengatakan “surga berada di telapak kaki ibu” bahkan kerelaan Allah terletak pada kerelaan ibu dan murka Allah pun demikian. Tentang ungkapan tersebut, ada suatu kisah yang pantas disimak. Di jaman Rasullulloh, ada seseorang bernama Al-Qomah yang dalam keadaan sekarat. Rasullulloh kemudian mencari tau apakah dia masih mempunyai seorang ibu. Ternyata memang masih mempunyai seorang ibu.
Rasullulloh pun meminta sahabat untuk mencari ibu Al qomah, setelah didapati, sang ibu kemudian dibawa ke hadapan Al-Qomah. Sang Ibu mengakui bahwa Al-Qomah adalah anaknya, tetapi dia mempunyai kesalahan pada Sang Ibu dan belum dimaafkan. Rasullollah meminta kepada Sang Ibu untuk memafkannya, namun dia enggan. Merasa tidak ada cara lagi, Rasulullah pun berniat membakar Al-Qomah untuk membangkitkan rasa keibuan sang ibu, agar bersedia memaafkannya supaya Al-Qomah bisa segera meninggal dunia.
Melihat anaknya hendak dibakar, sang ibu pun mencegahnya. Dia menceritakan penyebab sakit hatinya kepada Al-Qomah hingga sampai anaknya hendak dibakar, dia belum memaafkannya. Setelah mengetahui permasalahannya, Rasullullah meminta agar sang ibu memaafkan Al-Qomah, karena kalau sang ibu tidak memaafkannya, dia akan sulit meninggal dunia. Karena merasa kasihan Sang Ibu pun luluh hatinya, dengan rela dia memaafkan Al qomah. Seiring maaf dari Sang Ibu, Al-Qomah pun meninggal dunia.
Di lain kesempatan, Rasullullah pernah menjawab pertanyaan seseorang: “siapakah orang yang lebih berhak mendapatkan baktiku?” beliau menjawab “ibumu!” Pertanyaan itu diulangnya tiga kali dan Rasulullah pun menjawabnya dengan jawaban yang sama sebanyak tiga kali pula. Barulah, ketika pertanyaan itu diulang untuk yang keempat kalinya, beliau menjawab: “Bapakmu!”.
Tiga kisah di atas menunjukkan betapa seorang ibu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap anaknya. Sampai-sampai urusan jihad dan kematian pun memiliki kaitan yang erat dengan persoalan berbakti kepada orang tua (ibu). Sudah menjadi suatu kewajiban bagi setiap anak untuk menghormati dan berbakti pada kedua orang tuanya, terutama kepada ibunya. Karena kesukesan seorang anak tak terlepas dari peran seorang ibu,Semoga!


*) Penulis adalah mahasiswa STKIP PBI 2007C Ponorogo

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites